JAKARTA – Lonjakan kekayaan Direktur Jenderal Pajak (DJP), Suryo Utomo, hingga hampir 300 persen dalam enam tahun terakhir menjadi sorotan publik.
Di tengah permasalahan sistem pajak Coretax yang dibangun dengan anggaran Rp1,3 triliun, transparansi pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak kembali dipertanyakan.
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di laman elhkpn.kpk.go.id, Suryo Utomo belum memperbarui laporan kekayaannya untuk tahun 2023.
Padahal, sesuai dengan Peraturan KPK Nomor 3 Tahun 2024, laporan tersebut wajib disampaikan paling lambat 31 Maret 2024.
Kelalaian ini dinilai melanggar Pasal 4 ayat 4 regulasi tersebut dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat publik.
Apalagi, sebagai pemimpin lembaga strategis yang mengelola keuangan negara, kepatuhan terhadap prinsip transparansi menjadi hal yang mutlak.
Lonjakan Harta yang Dipertanyakan
Pada 2016, total kekayaan yang dilaporkan Suryo Utomo tercatat sebesar Rp6,2 miliar. Namun, pada 2022, angkanya melonjak menjadi Rp18,3 miliar—hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu enam tahun.
Kenaikan paling signifikan terjadi dalam satu tahun, dari 2021 ke 2022, di mana kekayaannya bertambah Rp3,8 miliar. Angka ini jauh di atas batas wajar jika dibandingkan dengan pendapatan resmi seorang Dirjen Pajak.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015, tunjangan kinerja seorang Dirjen Pajak sebesar Rp117,3 juta per bulan atau sekitar Rp1,4 miliar per tahun.
Jika mengacu pada teori pengelolaan keuangan 50/30/20 yang dikemukakan oleh ekonom Elizabeth Warren, idealnya hanya 20 persen dari penghasilan yang dapat disisihkan untuk tabungan dan investasi.
Dengan perhitungan ini, seorang pejabat seperti Dirjen Pajak diperkirakan hanya mampu menambah kekayaan sekitar Rp280 juta per tahun.
Namun, pertumbuhan harta Suryo Utomo justru jauh melebihi angka tersebut. Hal ini menimbulkan spekulasi adanya sumber pendapatan lain yang belum terungkap.
Pengamat: Harus Ada Penjelasan yang Jelas
Pengamat Kebijakan Publik, Prayogi Saputra, menilai lonjakan harta yang tidak wajar dari seorang pejabat publik menimbulkan tanda tanya besar.
“Dengan pendekatan pengelolaan keuangan yang wajar, sulit membayangkan bagaimana seorang pejabat dengan pendapatan resmi bisa mengalami peningkatan kekayaan sebesar itu tanpa ada sumber pendapatan lain yang tidak tercatat,” ujar Direktur Riset X Institute itu, Rabu (29/1/2025).
Menurutnya, kasus ini menjadi ujian serius bagi transparansi pejabat negara. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penerimaan negara dari pajak, Direktorat Jenderal Pajak harus menjadi contoh dalam kepatuhan terhadap aturan, termasuk pelaporan kekayaan.
“KPK diharapkan segera menindaklanjuti kasus ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga negara,” pungkas Prayogi.
Dengan semakin kuatnya tuntutan masyarakat akan transparansi pejabat negara, publik menanti klarifikasi dari Suryo Utomo terkait lonjakan hartanya serta alasan belum diperbaruinya laporan LHKPN tahun 2023. (*)