NASIONALPolitik

Mengungkap Kecurangan Pemilu 2024 Lewat Hak Angket, Kalau Bersih Kenapa Risih

×

Mengungkap Kecurangan Pemilu 2024 Lewat Hak Angket, Kalau Bersih Kenapa Risih

Sebarkan artikel ini

Oleh : Roy Fachraby Ginting

Akademisi dan Budayawan

MAWARTANEWS.com, MEDAN |

Upaya untuk menggulirkan hak angket terkait dugaan kecurangan dalam Pemilihan Umum semakin terbuka lebar setelah Partai NasDem, PKB, dan PKS menyatakan dukungannya terhadap wacana yang diinisiasi oleh capres Ganjar Pranowo dan kubu PDIP.

Dukungan dari 3 partai politik pemilik kursi parlemen yang tergabung di koalisi pendukung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar itu, semakin mendekatkan wacana hak angket menjadi kenyataan politik.

Awalnya, wacana hak angket itu didorong oleh calon Presiden nomor urut 03 Ganjar Pranowo. Dia berharap partai pengusung dan pendukungnya, yakni PDIP dan PPP yang akan menggulirkan bahkan menginisiasi hak angket itu.

Ganjar Pranowo menilai hak angket DPR bisa menjadi salah satu upaya untuk meminta pertanggungjawaban para penyelenggara pemilu ihwal dugaan pelaksanaan Pilpres 2024 yang disebutnya sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Ganjar mengatakan bahwa jika DPR tak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024.

Penggunaan hak angket merupakan hal biasa yang terjadi di Indonesia untuk dapat mengklarifikasi sebuah permasalahan sehingga dinilai sebagai tindakan yang baik dan dengan cara itu, nanti ada data, fakta, saksi, bukti, ahli, dan semuanya bisa dibuka dan publik bisa melihat.

Ganjar kemudian mengatakan bahwa pihaknya serius untuk mengajukan hak angket. Bahkan, lanjut dia, PDI Perjuangan sebagai partai pengusungnya telah menyampaikan untuk mengajukan hak angket di DPR RI.

Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Adian Napitupulu menjelaskan bahwa partainya solid mengenai hak angket tersebut. Komunikasi antara sukarelawan partai pengusung Ganjar dan Mahfud Md dan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar juga telah berlangsung.

Wacana yang dilempar Ganjar itu disambut baik oleh rivalnya, capres nomor urut 01 Anies Baswedan. Anies menyebut PDIP, partai yang menaungi Ganjar, memiliki suara terbesar di DPR.

Dukungan itu datang pula dari Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang menyebut bahwa setiap warga negara mempunyai hak konstitusional. Hak itu termasuk menggulirkan hak angket mengusut dugaan kecurangan Pilpres, seperti yang sedang dibangun tiga partai Koalisi Perubahan yaitu NasDem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Surya Paloh menegaskan bahwa hak angket itu adalah hak konstitusional. Saya pikir wajib. Bukan hanya sekadar mengiyakan, tapi wajib untuk menghormati, menghargai hak-hak konstitusional.

Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menyatakan dukungannya untuk menggulirkan hak angket ke DPR.

Sekjen Partai NasDem, Hermawi Taslim mengatakan dalam pertemuan itu, salah satu yang dibicarakan adalah kemungkinan penggunaan hak angket di DPR yang diinisiasi oleh capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo atas dugaan. Hak angket itu bertujuan mengusut dugaan kecurangan Pilpres 2024.

Apabila melihat komposisi kursi per fraksi di DPR, persentase anggota parlemen dari PDIP dan tiga partai Koalisi Perubahan sudah mencapai lebih dari 50%. Total gabungan kursi yang dimiliki keempat partai mencapai 295 kursi anggota DPR. Itu setara dengan 51,3% dari total 575 kursi anggota DPR.

Komposisi kekuatan kursi di DPR RI saat ini dalam mempersiapkan dukungan hak angket terdiri atas PDIP memiliki 128 kursi anggota DPR, Nasdem 59, PKB 58 dan PKS 50. Apabila Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan partai koalisi 03 ikut bergabung, maka keempat partai sebelumnya mendapatkan tambahan amunisi sebanyak 19 anggota DPR atau 3,3%.

Itu lebih besar dari jumlah anggota DPR koalisi pendukung 02 yang meliputi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Total gabungan jumlah anggota fraksi mereka di Senayan mencapai 261 kursi atau 45,3%.

Merujuk pada pasal 199 Undang-undang (UU) No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3, setidaknya partai politik (parpol) pro hak angket sudah memenuhi syarat pertama untuk bisa menggunakan hak angket.

Syarat pertama itu yakni diperlukan minimal 25 anggota parlemen dan lebih dari satu fraksi di DPR untuk mengajukan hak angket.

Kemudian, pengusulan hak angket harus disertai dengan dokumen yang memuat setidaknya materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Apabila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, maka usulan hak angket bisa mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR.

Lalu, keputusannya akan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir. Usai DPR menerima usul hak angket, dibentuk panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR.

Panitia ini akan melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

BACA JUGA:  Akademisi USU Roy Fachraby Ginting Apresiasi Kodim Medan dan Polres Belawan Bongkar Sindikat Penimbun Solar Subsidi

Selain itu, panitia angket diizinkan meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya. Laporan panitia angket disampaikan lagi ke DPR lewat rapat paripurna.

Berdasarkan laporan itu, DPR nantinya akan menimbang apakah undang-undang atau kebijakan pemerintah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan hak angket ini, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai, wacana menggulirkan hak angket terkait dugaan kecurangan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanyalah gertakan politik.

Jimly berpandangan, hak angket tidak berpengaruh karena digulirkan dalam waktu yang terbatas yakni 8 bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang.

Jimly menuturkan, ada banyak saluran yang dapat ditempuh apabila merasa ada kecurangan pada pelaksanaan pemilu, yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke MK.

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, penggunaan hak angket DPR akan membawa negara dalam ketidakpastian. Hak angket yang kini diusulkan untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu Presiden 2024, berpotensi menimbulkan kaos atau kekacauan. Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir.

Menurut Yusril, pihak yang kalah pilpres seharusnya mencari penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan dengan menggunakan hak angket DPR. Hak angket DPR tidak dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024 oleh pihak yang kalah pilpres.

UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi.

Yusril juga mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945, salah satu kewenangan MK yakni mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir.

Putusan MK bersifat final dan mengikat. Para perumus amendemen UUD NRI 1945 telah memikirkan bagaimana cara yang paling singkat dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, yakni melalui MK.

Yusril juga berpendapat bahwa perselisihan dalam pemilu harus segera berakhir dan diselesaikan melalui badan peradilan, sehingga tidak menimbulkan kekosongan kekuasaan jika pelantikan presiden baru tertunda karena perselisihan yang terus berlanjut.

Putusan MK dalam mengadili sengketa Pilpres 2024 akan menciptakan kepastian hukum. Jika UUD NRI 1945 telah secara spesifik menegaskan dan mengatur penyelesaian perselisihan pilpres melalui MK, maka penggunaan angket untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak dapat digunakan. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi, atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR.

Yusril juga menyinggung perihal wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo yang belum lama ini bergulir. Dia menduga, wacana penggunaan hak angket DPR merupakan upaya untuk memakzulkan Kepala Negara. Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran.

Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45. Wacana pemakzulan terhadap Presiden juga harus melalui persetujuan MK.

Demikian juga Ketua Majelis Kehormatan PPP, Zarkasih Nur menolak wacana hak angket di DPR untuk mendalami dugaan kecurangan Pemilu dan Pilpres 2024 yang diusulkan capres mereka, Ganjar Pranowo. Seraya meminta Plt Ketua Umum PPP, Muhamad Mardiono untuk mempertimbangkan dengan cermat usulan hak angket oleh Ganjar. Menurut dia, hak angket hanya berpotensi menimbulkan perpecahan.

Jajaran DPP PPP, terutama di DPR untuk kembali ke khitah atau tujuan awal, yakni menjunjung tinggi kepentingan umat dan dan meletakan persatuan, serta keutuhan bangsa Indonesia di atas segalanya.

Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran, Budiman Sudjatmiko menilai rencana penggunaan hak angket di DPR guna mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 hanya akan melahirkan permasalahan baru.
Ia menyebut hak angket itu belum tentu menyelesaikan permasalahan yang ada.

Menurutnya, jika dugaan kecurangan pemilu itu dibawa ke DPR lewat hak angket justru akan menyeretnya ke urusan politik. Ketika jadi politis urusannya bukan benar salah secara hukum, itu bisa subjektif jadinya. Kepentingan, subjektif,” ucapnya.

Budiman menyampaikan bahwa perkara sengketa pemilu itu seharusnya dibawa ke MK seperti yang telah diatur dalam undang-undang. Menurutnya penyelesaian sengketa pemilu melalui MK takkan menimbulkan masalah baru.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), melalui anggotanya Idham Holik menjelaskan, mekanisme protes terhadap pelaksanaan pemilu dan juga mempersoalkan hasilnya, telah diatur undang-undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu.

UU Pemilu telah jelas mendesain bagaimana menyelesaikan semua permasalahan terkait pemungutan dan penghitungan suara. Cara yang dapat digunakan partai politik (parpol) sebagai kontestan Pemilihan legislatif (pileg) maupun kontestan Pemilihan presiden yang juga diusung parpol, hanya disediakan dua jalur hukum oleh UU Pemilu.

Kalau sekiranya terjadi pelanggaran administrasi, jelas bahwa Bawaslu yang menangani. Kalau ada gangguan terhadap hasil pemilu, MK sebagai lembaga yang menyelesaikan permasalahan ini,” tuturnya.

UU Pemilu sudah menjelaskan hal tersebut, mekanisme penyelesaian semua permasalahan terkait dengan pemungutan suara, perhitungan, dan rekapitulasi. Peserta pemilu dapat memahami dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terkait langkah-langkah hukum memprotes pelaksanaan ataupun hasil pemilu.

BACA JUGA:  Ahmad Syahroni : Kemana Jati Diri Pelajar ?

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus pakar hukum tata negara Maruarar Siahaan menyatakan bahwa hak angket bisa menjadi salah satu cara untuk melawan kecurangan pemilu. Terlebih, hak angket merupakan salah satu hak istimewa yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Maruarar menyatakan perlu upaya keras untuk menggulirkan hak angket di DPR. Sebab, prosesnya sangat panjang. Biasanya ini suatu hal yang sangat sulit untuk mencapai suatu kesepakatan di DPR dalam pelaksanaan hak angket itu. Syaratnya harus diusulkan dulu oleh 25 orang anggota DPR, kemudian setelah itu DPR baru mengambil keputusan dalam pleno, kata Maruarar.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, turut menyambut baik wacana hak angket. Hak angket di DPR bakal jadi bukti bangkitnya partai politik oposisi.

Hak angket DPR yang saat ini tengah berupa digulirkan. Itu akan menjadi bukti bangkitnya partai politik oposisi. Hak Angket itu upaya menagih janji presiden untuk menjalankan pemerintahan secara baik dan di ujungnya adalah rekomendasi kepada presiden.

Hak angket DPR sendiri bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan kebijakan pemerintah.

Sebagai negara demokrasi yang besar, mari kita tegakkan demokrasi konstitusional, di mana hukum menjadi panglimanya. Apalagi dalam prinsip penyelenggaraan pemilu adalah berkepastian hukum.

Aturan tentang Hak Anget DPR RI tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 73, yang berbunyi:

Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.

Pengusulan Hak Angket termuat dalam Pasal 199 UU Nomor 17 Tahun 2014. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR RI dan lebih dari 1 fraksi kepada pimpinan DPR RI dalam rapat paripurna DPR RI dan dibagikan kepada semua anggota.

Sementara itu, anggota DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, maka DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:

Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selanjutnya hak Angket, yakni hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya ada pula hak menyatakan pendapat yakni hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional.

Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam penyelenggaran pemerintahan yang baik dengan upaya kita untuk terus menerus menegakkan hukum yang sesungguhnya menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan rule of law dan hal ini merupakan wujud dari tranparansi dan akuntabilitas nahkoda penyelenggara negara dalam menjalankan biduk pemerintahan yang baik dan bersih serta berintegritas di negeri ini.

Seharusnya seluruh anak bangsa, menjunjung tinggi upaya penegakan hukum dan konstitusi yang tentunya selalu mengingatkan kepada kita bahwa apa pun yang lakukan penyelenggara negara di dunia ini harus dipertanggungjawabkan di dunia maupun akhirat kelak.

Apalagi tiap-tiap pemimpin yang memimpin suatu negara tentu dituntut untuk selalu mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang dilakukannya baik moril maupun materil dan karena itu, kaidah dan norma yang sudah diatur sedemikian rupa akan menjadi sirna ketika elit di negara ini justru tidak sependapat dalam mewujudkan penegakan hukum dengan alasan yang sangat politis.

Hal ini tentu menjadi renungan buat kita semua atas kalimat yang katakan… Kalau Bersih Kenapa Risih… Tidak perlu cemas dan tentu tidak perlu ragu dan tidak perlu risih, sepanjang apa yang kita lakukan dalam upaya penegakan hukum itu sudah benar.

Maka dalam upaya penegakan hukum ini, kita tentu akan teringat kalimat yang diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus di tahun 43 SM yang mengatakan… Fiat justitia ruat caelum… yang artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh…!!!