Oleh : Roy Fachraby Ginting
(Akademisi dan Budayawan)
MAWARTANEWS.com, MEDAN |
Kini nepotisme menjadi suatu trend dalam kalangan masyarakat kita saat ini, untuk mewujudkan impian. Hal ini sudah menjadi hal yang biasa serta sangat wajar di lakukan oleh kalangan pejabat dan masyarakat juga sudah menganggap hal ini suatu hal yang wajar untuk dilakukan.
Nepotisme sendiri merupakan perbuatan yang di lakukan oleh penyelenggara negara, untuk memberikan kesempatan untuk jabatan dan kekuasaan kepada keluarga dekat dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai orang yang sedang berkuasa walaupun itu dengan jalan melawan hukum dan perbuatan itu tentu menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya serta perbuatan itu merugikan orang lain, masyarakat atau negara.
Sungguh sebuah ironi dalam sistem dan cara bangsa kita yang kini membudaya dalam menempatkan jabatan jabatan politik dan kekuasaan negara yang mana kaum elit negara ini justru tanpa rasa malu menempatkan istri atau anak dan menantu bahkan cucu untuk meneruskan jabatan dan kekuasaan yang sedang di pegang.
Kini budaya nepotisme itu semakin marak dan tidak berubah, meski jaman sudah berubah dan berganti dari masa orde baru hingga berganti orde reformasi. Budaya perilaku nepotisme itu semakin marak.
Perubahan kebudayaan di era reformasi seharusnya mampu merubah perilaku nepotisme, namun kenyataannya sebaliknya budaya nepotisme itu justru kini mewarnai pola kehidupan masyarakat.
Mentalitas dengan mencari jalan pintas untuk mendapatkan hasil tanpa harus bekerja keras sesuai norma dan aturan yang berlaku, menjadi faktor penyebab budaya nepotisme semakin marak dan masih saja mewarnai kehidupan pemerintahan sosial politik di negeri ini dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Langkah langkah mempersiapkan anak dan keluarga dekat ini dalam jabatan politik sangat jelas kita saksikan belakangan ini. Misalnya saja, kita melihat betapa bangganya Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bersyukur atas putra sulungnya yang juga ketua umum DPP Partai Demokrat Mayor Purn. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masuk ke dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan AHY usai dilantik sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sebagaimana diketahui, belakangan, hubungan antara Demokrat dan Istana kian dekat. Hal itu tampak sejak Demokrat, yang merupakan partai politik (parpol) yang selama ini menjadi oposisi kini bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan kini ikut mendukung pemerintahan Jokowi.
Demikian juga, beberapa waktu lalu, media di negeri ini ramai juga memberitakan Putra pertama Presiden Joko Widodo yang dianggap tokoh muda inspiratif Gibran Rakabuming Raka mendapat karpet merah sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto dan kini dalam proses kemenangan yang telah di umumkan lembaga survei.
Namun, walau usia Gibran belum cukup syarat untuk maju sebagai cawapres. Hal itu bukanlah masalah, karena batasan usia ini bisa digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Apalagi Ketua MK yang juga paman kandung Gibran, Anwar Usman yang akan ikut memutus perkara dan menyampaikan putusan MK tersebut.
Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, ujar Anwar saat membaca amar putusan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10) beberapa waktu lalu. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa minimal usia calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun atau belum berusia 40 tahun tapi sudah berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Uniknya, langkah langkah perjuangan untuk mengorbitkan anak ini telah lama di praktekan dan di pertontonkan di negeri ini, misalnya Ketua DPR RI Puan Maharani yang merupakan anak dari Megawati Soekarnoputri yang Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dan mantan Wakil Presiden RI dan Mantan Presiden RI. Ayahnya, Taufik Kiemas,juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
Beberapa waktu lalu, ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga memperkenalkan dua cucu kesayangan kepada para kader di HUT ke-50 PDIP. Adapun cucu yang ia perkenalkan di acara tersebut merupakan anak dari Puan Maharani.
“Itu ada dua cucu saya, ayo berdiri coba nih ayo jangan malu. Nih tuh, ini putra putrinya Mba Puan, mereka kenapa mau ikut…? Karena katanya mau tahu ah kalau masuk politik itu gimana,” kata Megawati dalam pidatonya beberapa waktu lalu.
Presiden RI Joko Widodo sebelumnya juga sudah mempersiapkan putranya Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo. Hal itu juga berlanjut dengan mempersiapkan menantunya Muhammad Bobby Afif Nasution, menjadi Wali Kota Medan yang menjabat sejak 26 Februari 2021. Bobby adalah menantu presiden Joko Widodo dan suami dari anak keduanya, Kahiyang Ayu.
Fenomena ini juga terjadi di kalangan elit bangsa ini, contohnya Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Partai Perindo, beserta anggota keluarganya mendaftarkan diri sebagai calon legislatif dalam Pemilu 2024. Hary dan enam anggota keluarganya nyaleg di Pemilu Serentak 2024. Mereka semua maju melalui Partai Perindo.
Mungkin langkah keluarga ini diambil melihat keberhasilan Angela Tanoesoedibjo yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang merupakan putri sulung pemilik MNC Grup Hary Tanoesoedibjo ini.
Fenomena ini kini merambat pula ke pejabat di daerah, ada gubernur, Bupati dan Walikota yang sudah mempersiapkan istri, suami, anak, menantu bahkan keluarga dekat untuk suksesi kepemimpinan mereka.
Dampaknya lihat saja beberapa waktu lalu, Gubernur Banten Ratu Atut ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan kedokteran umum di Puskesmas Kota Tangerang Selatan, Banten, tahun anggaran 2012. Kemudian, pada 16 Desember 2013, Atut jadi tersangka kasus suap sengketa Pilkada Lebak.
Sebelum itu, adik kandung Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. Wawan merupakan suami dari Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany. Atut dan Wawan diduga menyuap Akil Mochtar yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Demikian juga, KPK menetapkan Bupati Kutai Timur, Ismunandar, dan istrinya yang merupakan Ketua DPRD Kutai Timur, Encek UR Firgasih, sebagai tersangka suap. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan kasus itu menjadi bukti jika nepotisme menjadi awal terjadinya korupsi.
Melihat realita ini, ulama Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus sampai menulis sebuah puisi yang berisi kalimat yang mengatakan, inilah jaman kemajuan. Ada sirup rasa jeruk dan durian. Ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.
Puisi jaman Kemajuan yang dibacakan Gus Mus itu mungkin sebuah kerisauan yang langsung disambut gelak tawa dan sayangnya, puisinya itu tak dilanjutkannya karena khawatir ada yang tersinggung.
Gus Mus yang selama ini dikenal juga sebagai budayawan dan penyair itu melihat bahwa tatanan bernegara saat ini sudah dirusak oleh segelintir kelompok yang ingin membangun kerajaan politik.
Hak istimewa yang diberikan konstitusi untuk memimpin negara dijalankan oleh kelompok itu laiknya memimpin kerajaan. Kelompok ini lupa, mereka lahir dan masih hidup di negara dengan sistem pemerintahan republik. Ada benarnya nasihat orang dulu yang menyebut salah satu godaan bagi orang yang berkuasa adalah takhta. Kehilangan takhta menjadi kiamat besar baginya.Karena itu, selagi berkuasa, dia akan menggunakan seluruh upayanya untuk melanggengkan takhtanya.
Aturan hukum diutak-atiknya agar bisa sesuai dengan kehendak hatinya. Begitu masa jabatan berkuasanya akan habis, ia putar otak agar istrinya, anaknya, menantunya, bahkan besannya bisa melanjutkan takhtanya.
Anak dengan pengalaman masih mentah pun dikarbitnya supaya terlihat matang. Politik dinasti di beberapa daerah menjadi contoh upaya pelanggengan takhta tersebut. Seperti seorang raja, sejumlah kepala daerah ingin mewariskan jabatannya itu kepada keluarganya.
Mereka tak rela kemampuan dan prestasi dalam sistem meritokrasi menggantikan sistem dinasti. Mereka lupa, para pendiri bangsa telah susah payah merumuskan bentuk pemerintahan negara ini. Para bapak bangsa sadar betul, sistem kerajaan tak dapat dipakai untuk memimpin negara dengan beragam suku, ras, dan agama ini.
Mereka menilai bentuk negara kerajaan lekat dengan feodalisme yang dapat menyuburkan penindasan.Sistem republik akhirnya yang disepakati Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10 Juli 1945.
Sistem itu menekankan kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan seorang raja yang kemudian turun-temurun diwariskan ke keluarganya.Sistem itu yang kemudian tertuang di UUD 1945.
Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik,” demikian bunyi Pasal 1 ayat 1 UUD 1945. Republik rasa kerajaan akan merusak demokrasi.
Salah satu ciri dari pemerintahan republik ialah kedaulatan di tangan rakyat. Dalam sistem republik, partisipasi rakyat dalam menentukan jalannya negara adalah mutlak.
Begitu pula budaya politik kerajaan harus dijauhkan dari negeri yang bernama Republik Indonesia. Republik ini bukan milik sebuah keluarga, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia.
Maka tidaklah kita heran ketika Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyinggung masalah rasa malu dan etika ketika berpidato dalam acara perayaan Hari Raya Tahun Baru Imlek 2575 yang digelar oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) beberapa waktu lalu.
Beliau menyebutkan bahwa tema “Malu bila Tidak Tahu Malu, Menjadikan Orang Tidak Menanggung Malu” dalam perayaan Imlek tahun ini punya makna mendalam. Rasa malu adalah sifat fundamental yang akan mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan sekaligus menjauhi keburukan.
Seseorang yang memiliki rasa malu akan takut melakukan tindakan yang tidak sesuai norma, nilai, dan etika. Dengan demikian, ia tidak akan melakukan perbuatan yang menyakiti sesamanya.
Ajaran Islam juga menempatkan rasa malu sebagai faktor yang menjauhkan orang dari perbuatan tak terpuji dan mendorongnya berbuat kebaikan.
Maka benarlah kata Abraham Lincoln bahwa semua orang bisa bertahan dengan kematian, akan tetapi bila anda ingin mengetahui sifat dan karakter seseorang, maka berilah dia kekuasaan.
Hal ini juga sesuai dengan kata pribahasa bahwa di manapun kita bekerja di dunia ini, nepotisme yang mengutamakan keluarga, teman dan sahabat di atas orang lain yang mungkin lebih berprestasi atau lebih mumpuni sudah menjadi bagian dari budaya, baik terang terangan maupun sembunyi sembunyi.
Ketika Bangsa kita beberapa waktu lalu berjuang untuk memberantas KKN atau singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme kini hal itu justru telah menjadi bagian yang semakin parah di negara kita khususnya dalam hal NEPOTISME ini.
Nepotisme yang di balut dengan pasal pasal yang syah secara hukum. Kalau bertentangan tinggal mengubah dan mengganti pasal pasal dalam kitab hukum yang sesuai dengan keinginan penyelenggara negara sehingga hal itu menjadi tidak melanggar hukum dengan memberikan keuntungan kepada keluarga atau orang dekat mereka di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Nepotisme yang menggurita ini kini di pertontonkan kepada kita dan merujuk pada tindakan penyelenggara negara yang melanggar hukum dengan memberikan keuntungan kepada keluarga atau orang dekat mereka di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Nepotisme terjadi ketika seseorang dengan jabatan tinggi lebih memilih untuk mempromosikan teman atau saudaranya untuk suatu pekerjaan, bukan karena kemampuan mereka sendiri. Tapi karena hubungan keluarga, tenan atau organisasi tertentu seperti partai politik atau profesi.
Penyebab Lahirnya Nepotisme di sebabkan oleh karena keterbatasan Informasi di mana pimpinan atau penyelenggara negara tidak memiliki cukup informasi mengenai calon kandidat yang layak dan kompeten untuk mengisi posisi tertentu. Serta mereka lebih memilih untuk merekrut atau mempromosikan orang-orang terdekat mereka, seperti keluarga atau teman dekat, sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan dan merasa lebih percaya dengan orang-orang terdekat mereka dalam mengelola suatu posisi tertentu.
Beberapa budaya tertentu mungkin menganggap nepotisme sebagai hal yang wajar dan dapat diterima. Hal ini bisa terjadi karena adanya kebiasaan atau tradisi dalam keluarga atau masyarakat yang mendorong orang-orang untuk mempromosikan anggota keluarga atau teman dekat mereka untuk posisi tertentu.
Praktik nepotisme tentu sangat merugikan kinerja institusi karena pengangkatan berdasarkan hubungan keluarga atau kesamaan latar belakang akademik atau organisasi bukan didasarkan pada kemampuan atau kualifikasi.
Nepotisme ini juga tentu merusak etika kerja dalam organisasi karena mengutamakan hubungan keluarga atau kesamaan latar belakang akademik atau organisasi daripada kemampuan atau kualifikasi.
Nepotisme juga dapat menciptakan lingkungan di mana penghargaan dan promosi bukan didasarkan pada kinerja tetapi pada faktor-faktor yang tidak relevan.
Nepotisme juga dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pegawai atau karyawan dan dapat memicu konflik dalam organisasi. Karyawan dan pegawai yang merasa tidak dihargai atau diabaikan karena praktik nepotisme dapat merasa tidak termotivasi dan merugikan produktivitas.
Nepotisme juga merusak kredibilitas institusi di mata masyarakat karena dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak adil dan korupsi. Hal ini tentu dapat mempengaruhi reputasi dan citra institusi di masyarakat dan dapat mengurangi dukungan dari stakeholder.
Nepotisme juga merugikan kemajuan organisasi dan masyarakat karena dapat mencegah orang orang yang lebih mumpuni dan berkualifikasi serta berbakat untuk bergabung dan berkontribusi pada organisasi atau masyarakat. Sehingga dalam hal ini tokoh tokoh partai dan organisasi dapat memberikan contoh dan keteladanan kepada rakyat dengan menempatkan orang yang layak dalam jabatan organisasi kemasyarakatan.
Dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkembang, perlu ada kesadaran dan tindakan untuk memerangi nepotisme dan mendorong prinsip meritokrasi dalam setiap aspek kehidupan kita dengan keteladanan yang di tunjukkan oleh tokoh agama, politik dan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk melawan nepotisme ini hanya bisa kita lakukan dengan melibatkan individu dan institusi yang dalam hal ini di mulai dari pemimpin bangsa sebagai seorang figur yang negarawan dan berkomitmen untuk menghilangkan nepotisme dengan cara perlu dikaji ulang keputusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan orang yang memiliki hubungan darah dengan pejabat atau kepala daerah maju dalam pemilihan kepala daerah.
Adanya hubungan darah antara calon presiden atau calon wakil presiden dengan presiden yang sedang menjabat dan berkuasa serta adanya calon kepala daerah dan kepala daerah yang akan lengser berpotensi menimbulkan nepotisme dan nepotisme yang tumbuh subur ini bisa berdampak buruk bagi demokrasi di Indonesia.
Oleh karena itu, bangsa kita hanya akan dapat mencapai kemajuan yang luar biasa serta berkelanjutan dengan memulai dari diri sendiri dengan mulai membudayakan rasa malu dari diri sendiri.
Penulis adalah dosen dan staf pengajar di Universitas Sumatera Utara Medan.