NASIONAL

Ketika Bangsa Sudah Tidak Memiliki Rasa Malu

×

Ketika Bangsa Sudah Tidak Memiliki Rasa Malu

Sebarkan artikel ini
Roy Fachraby Ginting

MAWARTANEWS.com | Betapa pentingnya setiap orang memiliki rasa malu. Orang yang tidak memiliki rasa malu akan berbuat sekehendak hatinya. Rasa malu selalu menjadi kekuatan pada diri seseorang untuk menseleksi apakah perbuatan pantas dilakukan atau tidak.

Rasa malu adalah tameng, sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan serta tindakan.

Dalam menjalani kehidupan seseorang biasanya mendasarkan pada nilai-nilai yang bersumber dari adat istiadat yang berlaku di masyarakat, sopan santun, aturan, dan juga agama yang dipeluknya.

Seseorang yang tidak memiliki rasa malu, maka nilai-nilai dimaksud selalu diabaikan. Ia melakukan apa saja sesuai dengan yang dikehendaki atau diinginkan. Perilakunya tidak berstandar kecuali hanya mengikuti keinginan, kebutuhan, dan apa saja yang menyenangkan terhadap dirinya sendiri.

Setiap orang berpotensi kehilangan rasa malu. Siapapun, tidak mengenal tingkat pendidikannya, jabatannya, kekayaannya, umurnya, dan seterusnya, sebenarnya memiliki kemungkinan kehilangan rasa malu.

Ketika rasa malu sudah tidak ada pada diri seseorang, maka apa saja yang dikehendaki dan diinginkan akan dilakukan. Dengan melakukan perbuatan dimaksudkan, bagi yang bersangkutan, akan memperoleh kesenangan, kebahagiaan, atau kepuasan.

Akan tetapi bagi orang lain yang melihatnya akan memberikan penilaian atau merespon secara berbeda-beda.

Ketika seseorang masih memiliki rasa malu, maka hal itu akan sangat erat kaitannya dengan iman. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Seseorang yang masih memiliki sifat malu ini, kebaikan akan senantiasa datang menghampirinya dan akan membantunya dalam menghalangi untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa.

Sehingga sangat relevan dalam perayaan Imlek 2575 Kongzili yang digelar oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) yang mengambil tema, Malu bila Tidak Tahu Malu, Menjadikan Orang Tidak Menanggung Malu.

Dalam acara itu, Wapres Ma’ruf Amin berbicara tentang etika dan rasa malu dan menekankan, bangsa Indonesia harus mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan matang dalam berdemokrasi. Kerukunan dan persatuan di tanah air, salah satunya, dapat diperkuat melalui budaya malu yang telah tertanam di masyarakat Nusantara secara turun-temurun.

BACA JUGA:  Pemuda Gopla dan Kodrat Kompak Deklarasi Damai dan Bagi-bagi Nasi Bungkus di Perbaungan

Rasa malu merupakan sifat fundamental untuk terwujudnya kebaikan sekaligus untuk menciptakan jarak dari keburukan.

Seseorang yang memiliki rasa malu akan takut melakukan tindakan yang tidak sesuai norma, nilai, dan etika. Dengan demikian, ia tidak akan melakukan perbuatan yang menyakiti sesamanya.

Banyak contoh dan kejadian ketika orang yang sudah kehilangan rasa malu, tidak terkecuali di dunia politik dan kenegaraan kita. Oleh karena tidak memiliki rasa malu, maka seseorang dengan berbagai cara melakukan apa saja yang sebenarnya tidak patut, agar berhasil memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya.

Untuk memperoleh jabatan tertentu misalnya, seseorang melakukan apa saja, asal cita cita nafsu kekuasaannya tercapai, seperti sogok menyogok atau suap menyuap sehingga berakibat kehidupan politik menjadi kacau dan sudah tentu pejabat yang terpilih tidak pernah berwibawa.

Pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat, lagi-lagi oleh karena sudah kehilangan rasa malu, maka perilakunya justru berbalik yaitu ingin dilayani.

Mereka dengan seenaknya sendiri menuntut berbagai fasilitas dari pemerintah, sekalipun kualitas kerja dan pengabdiannya tidak jelas. Selain itu, oleh karena sudah kehilangan rasa malu, kehidupannya sehari-hari melampaui batas kewajaran pejabat birokrasi pemerintah.

Pemimpin atau pejabat yang seharusnya memberikan contoh dan nilai-nilai luhur dan mulia, selalu menjunjung tinggi etika, kejujuran, keadilan, kebersamaan, dan seterusnya, tetapi oleh karena sudah tidak memiliki rasa malu, maka amanah itu dijalankan secara sembarangan.

Bahkan, oleh karena sudah tidak memiliki rasa malu lagi, ternyata amanah dan jabatan serta kekuasaan hanya dijadikan wahana dan cara untuk menumpuk dan memperoleh kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan.

Akibatnya, nilai-nilai kepemimpinan yang amanah menjadi hilang sekalipun jabatan dan kepemimpinan itu sangat erat dengan nilai nilai luhur dan mulia, selalu menjunjung tinggi etika, kejujuran, keadilan serta kebersamaan.

Seandainya budaya malu diterapkan dalam kehidupan bernegara, mungkin Pemimpin bangsa yang menunjukkan kepemimpinannya yang menerapkan rasa malu dalam melakukan dan menjalankan kekuasaannya tentu tidak akan menghadapi kenyataan bahwa kinerja para anak buahnya berkualitas rendah karena kinerja mereka yang tidak memiliki rasa malu.

BACA JUGA:  Gubsu dan Badan Otorita Agar Segera Tuntaskan Penanggulangan Ikan Red Devil di Danau Toba

Hilangnya rasa malu menyumbang andil besar dalam kerusakan tatanan sosial hingga negara. Karena rasa malu merupakan benteng bagi seseorang untuk tidak berbuat menyimpang. Tetapi karena benteng itu telah rapuh sehingga banyak penyimpangan terjadi tanpa timbulnya rasa malu bagi pelakunya.

Dalam sejumlah literasi, semisal buku berjudul Shame: Theory, Therapy, Theology tulisan Stephen Pattison dan juga Shame: Exposed Self karya Michael Lewis, disebutkan bahwa malu identik dengan perasaan yang dialami Hawa di Surga ketika ia melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah larangan.

Bila seseorang tidak merasa terganggu saat melakukan kesalahan, apalagi kesalahan yang dapat berdampak pada rakyat banyak, mungkin harus memeriksakan kadar keimanan dan kesehatan hati nuraninya.

Bayangkan jika budaya malu tumbuh baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, niscaya misi mewujudkan Indonesia Maju akan selangkah lebih mudah.

Namun kepedihan kita saat ini adalah, bangsa kita yang tidak lagi memiliki pemimpin dan kepemimpinan yang negarawan. Pemimpin yang pidatonya antara pagi dan siang serta malam berbeda beda arti dan makna.

Bangsa kita membutuhkan Pemimpin yang negarawan yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dengan tidak rakus dan haus dengan kekuasaan serta senantiasa memberikan contoh yang baik buat anak bangsa di negeri ini dalam membangun demokrasi dan bukan justru membangun dinasti kekuasaannya.

Namun, Jika pemimpin itu tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu dan biarlah kami rakyat menonton dan merasakannya dengan rasa pilu.

Mungkin bangsa ini harus menunggu 1000 tahun lagi untuk mendapatkan pemimpin yang memimpin dengan hati nurani seperti Gandhi dan Nelson Mandela yang sangat memegang teguh etika dan moral serta rasa malu dalam memimpin bangsa dan negaranya…

 

Oleh : Roy Fachraby Ginting

(Dosen Universitas Sumatera Utara)