PADA 20 MARET 2024 LALU, KPU telah menetapkan kemenangan hasil Pemilu kepada Prabowo-Gibran. Kemenangan diraih keduanya tentu paralel dengan Visi dan Misi serta program kerja yang mereka sampaikan. Pasangan Prabowo-Gibran tentu mencoba mengimplementasikan Visi Indonesia Emas 2045 yang kerangkanya telah dibangun oleh Presiden Joko Widodo.
Ada dua hal yang unik dari program kerja Prabowo-Gibran. Pertama, Program pemberian makan siang gratis dan susu gratis bagi anak-anak yang sedang sekolah dan ibu-ibu hamil. Tujuan dari program ini untuk mengatasi angka kematian ibu hamil, anak kurang gizi, stunting, menghilangkan kemiskinan yang ekstrem serta menyerap hasil panen petani dan nelayan.
Makan siang gratis juga diyakini akan mengatasi masalah dalam perbaikan kualitas hidup rakyat Indonesia. Program inilah yang mereka selalu gaungkan untuk dapat mencapai Indonesia Emas 2045.
Selain program di atas, Prabowo-Gibran juga menggaungkan Indonesia Emas melalui peningkatan hilirisasi nikel dimana bahan baku nikel akan diolah menjadi bahan baku setengah jadi sehingga akan mendongkrak nilai jual nikel tersebut. Ini akan menaikkan kapasitas keuntungan sehingga negara akan memperoleh pendapatan berlipat-lipat.
Namun pertanyaannya, apakah dengan peta jalan seperti demikian—setidaknya dari dua program kerja utama itu, Indonesia Emas 2045 akan terwujud?
Program makan siang gratis dan susu gratis membutuhkan dana yang sangat besar mengingat cakupannya juga sangat luas. Demikian juga dengan uang negara yang akan dikelola sebagai hasil hilirisasi nikel. Uang yang akan dikelola untuk kedua kegiatan tersebut sudah mencapai trilyunan rupiah.
Bagaimana antisipasi Prabowo-Gibran atas peluang kebocoran dana akibat korupsi? Apakah Prabowo-Gibran tidak melihat fakta betapa masifnya korupsi di negeri ini?
Kejujuran
Kondisi saat ini, ketika berbicara mengenai korupsi, sudah bukan lagi hanya level darurat. Tetapi kita berada dalam keadaan koma. Kasus-kasus korupsi yang ditangani, tidak memberikan efek jera karena hukum tumpul. Seperti contoh kasus yang sangat merugikan negara yaitu yang melibatkan PT. Timah dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp. 300 Triliun.
Namun pelakunya hanya divonis penjara 3 tahun saja. Ironisnya, seorang ibu yang mencuri susu terancam 7 tahun penjara. Dari kedua kasus tersebut bisa dibandingkan betapa hukum terlihat sangat tidak adil, bahkan menguntungkan mereka yang melakukan korupsi jor-joran.
Korupsi memang terasa berat karena hukum seperti bisa dikendalikan. Proses pengendalian korupsi terjadi karena maraknya konflik kepentingan mereka yang melakukan tindakan korupsi. Konflik kepentingan itu terjadi karena berbagai lini telah dimasuki oleh pola nepotisme.
Sistem dinasti dan kekerabatan merasuki seluruh jabatan publik, sehingga penegakan hukum sudah dapat dipastikan tidak akan berjalan adil. Hukum yang benar-benar membuat pelaku merasa jera dan tidak lagi menumbuhkan bibit baru bagi para koruptor amat jauh dari harapan. Hukum yang berlaku di Indonesia seperti hanya tertulis saja tetapi tidak sesuai dengan implementasinya.
Indonesia bukan kekurangan orang pintar, Indonesia hanya kekurangan orang jujur. Karena itu, harapan besar dari Prabowo-Gibran hanya akan mungkin terjadi jika pemerintahan diisi oleh sosok-sosok yang jujur, jujur dalam mengelola keuangan negara, dan jujur di dalam menegakkan keadilan hukum.
Jika tidak, Indonesia Emas hanya untuk kalangan tertentu saja. (*)
Penulis adalah mahasiswa Prodi S1 Antropologi, FISIP-USU